11 sandera dalam perseteruan suku Muslim Filipina
ZAMBOANGA, Filipina (AFP) – Suku-suku Muslim bersenjata di Filipina selatan yang dilanda konflik menahan 11 orang, termasuk beberapa anak-anak, sebagai bagian dari perseteruan yang telah berlangsung selama beberapa dekade, kata militer pada Jumat.
Penculikan saling balas ini adalah bagian dari perebutan tanah antara dua suku yang dimulai 30 tahun lalu di Basilan, sebuah pulau kecil terpencil yang didominasi oleh militan Islam dan pemberontak separatis, kata Kolonel Rodrigo Gregorio.
Perseteruan tersebut sebelumnya menyebabkan baku tembak dan merenggut sekitar 20 nyawa di kedua belah pihak, menurut Gregorio, juru bicara militer setempat.
“Mudah-mudahan tidak ada kekerasan apa pun. Kedua belah pihak masih berbicara,” katanya kepada AFP.
Permusuhan terbaru dimulai pada hari Selasa ketika tiga putri pemimpin suku “Komandan Hassan” diculik oleh keluarga saingannya di Basilan, kata Gregorio.
Pengikut Hassan yang bersenjata membalas pada hari Kamis dengan menculik 12 anggota klan saingannya, termasuk tujuh anak-anak.
Gregorio mengatakan pemerintah setempat dan militer sedang bernegosiasi dengan kedua belah pihak dan berhasil mengamankan pembebasan empat anak.
Usia anak-anak yang diculik berkisar antara lima bulan hingga 15 tahun, kata tentara. Namun tidak jelas siapa di antara mereka yang telah dibebaskan.
Mereka masih berusaha membuat kedua pihak yang bersaing itu melepaskan sisa tahanan sambil mencegah pecahnya pertempuran baru, tambah Gregorio.
Komandan Hassan adalah anggota Front Pembebasan Nasional Moro, mantan kelompok pemberontak separatis Muslim, namun perseteruan tersebut tidak melibatkan organisasinya, kata militer.
Suku-suku Muslim di Filipina selatan dikenal karena perseteruannya yang berkepanjangan, biasanya mengenai pertanahan, kekuasaan politik, atau pengaruh. Mereka sering menggunakan antek bersenjata untuk menyerang satu sama lain.
Perseteruan semacam itu di Filipina selatan, yang dianggap sebagai tanah air bagi minoritas Muslim di negara tersebut, telah merenggut lebih dari 5.500 nyawa dan membuat ribuan orang mengungsi antara tahun 1930an dan 2005, menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Asia Foundation.
Selama perseteruan tersebut, pemerintah, termasuk militer, biasanya mencoba untuk menegosiasikan perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai dibandingkan mengambil tindakan untuk menangkap pihak-pihak yang bertikai.