Pencarian kuburan massal di Indonesia ditanggapi dengan skeptis
Jakarta, Indonesia – Keputusan pemerintah Indonesia untuk menyelidiki pembantaian anti-komunis pada tahun 1965 ditanggapi dengan hati-hati oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia, beberapa di antaranya enggan untuk berbagi informasi tentang kuburan massal sampai pemerintah menunjukkan bagaimana mereka akan melakukan penyelidikan.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo minggu ini menginstruksikan Menteri Keamanan Luhut Pandjaitan untuk menyelidiki pembunuhan yang dilakukan oleh militer dan kelompok agama dan mengumpulkan informasi tentang kuburan massal. Perintahnya dikeluarkan setelah konferensi awal bulan ini yang melanggar tabu yang sudah ada selama setengah abad mengenai diskusi publik mengenai kekejaman yang menurut para sejarawan telah menewaskan setengah juta orang.
Namun Pandjaitan, seorang purnawirawan jenderal angkatan darat, tidak memberikan keyakinan bahwa penyelidikan yang sesungguhnya akan dilakukan, dengan mengatakan bahwa pemerintah tidak akan pernah meminta maaf dan bahwa jumlah korban tewas terlalu dilebih-lebihkan, dan menuntut kelompok advokasi untuk membuktikan adanya kuburan massal.
Haris Azhar dari kelompok advokasi Kontras mengatakan pada hari Rabu bahwa ia terlibat dalam pemetaan 16 kuburan, terutama di Jawa Tengah, hampir satu dekade lalu dan pada saat itu memiliki informasi tentang ratusan situs lain, termasuk di Bali, yang kini menjadi tujuan wisata utama Indonesia. pulau, dan Sulawesi.
Namun dia mengatakan agar kelompoknya dapat membagikan informasinya, pemerintah harus mengumumkan rencana penyelidikan yang jelas dan sangat spesifik. Tiga puluh hingga 40 kelompok di seluruh Indonesia memiliki informasi tentang kuburan, kata Azhar.
“Dari pihak kami, kami memutuskan untuk tidak memberikannya kepada mereka jika tidak ada agenda yang jelas tentang apa yang akan mereka lakukan dengan data tersebut,” ujarnya.
Pembunuhan tersebut dimulai pada bulan Oktober 1965, tak lama setelah kudeta yang tampaknya gagal dan menewaskan enam jenderal sayap kanan. Diktator Suharto, yang saat itu merupakan seorang mayor jenderal yang tidak dikenal, mengisi kekosongan kekuasaan dan menyalahkan pembunuhan tersebut pada Partai Komunis Indonesia, yang saat itu merupakan partai terbesar di luar Uni Soviet dan Tiongkok, dengan 3 juta anggota.
Di Indonesia, laporan-laporan yang diterima secara luas menggambarkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai pemberontakan heroik melawan komunisme dan menutup-nutupi kematian yang terjadi. Saat ini, jutaan keturunan anggota Partai Komunis masih mengalami stigmatisasi dan menghadapi diskriminasi hukum yang menghalangi mereka untuk memegang jabatan di pemerintahan.
Investigasi selama empat tahun yang dirilis pada tahun 2012 oleh komisi hak asasi manusia di Indonesia menggambarkan pembunuhan tersebut sebagai kekerasan dalam “skala yang sangat besar” dan menyerukan penuntutan terhadap para pelaku yang masih hidup, namun diabaikan oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. .
Meskipun ada keraguan mengenai peran Luhut Pandjaitan, langkah tentatif pemerintah untuk mengatasi salah satu kekejaman terburuk pada abad terakhir ini disambut baik oleh kelompok hak asasi manusia dan para penyintas.
“Ini adalah langkah yang sangat penting bagi masa depan Indonesia,” kata Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch di Indonesia. “Ini hanyalah pertarungan pembuka.”
Bedjo Untung, salah satu penyintas pembantaian sekaligus Ketua YPKP 65 atau Yayasan Penelitian Korban Pembantaian 1965, mengatakan kelompoknya akan segera menyerahkan informasinya kepada pemerintah.
“Kami sudah memiliki bukti dan catatan kuburan massal di berbagai tempat di Jawa dan Sumatera,” kata Bedjo. “Kami akan menunjukkan bukti bahwa kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan terjadi pada tahun 1965.”